Kontributor : Iktri Madrinovella
Sebelum membahas tentang relokasi hiposenter, mari kita sejenak membahas dulu tentang proses gempa bumi. Gempabumi dapat terjadi secara vulkanik maupun tektonik.
Sebelum membahas tentang relokasi hiposenter, mari kita sejenak membahas dulu tentang proses gempa bumi. Gempabumi dapat terjadi secara vulkanik maupun tektonik.
Gempa vulkanik adalah gempa yang terjadi di gunung api, fenomena gempa yang terjadi di dalam bumi secara vertikal. Sementara gempa tektonik terjadi di perbatasan lempeng atau sesar (patahan dua media di dalam lempeng). Gempa tektonik merupakan pergerakan vertikal di dalam bumi, serta pergerakan horizontal hingga permukaan.
Sehingga perbedaan gempa vulkanik dan tektonik dapat kita lihat dari rekaman gelombang yang dibaca oleh seismograf :
Dari gambar diatas, dilihat bahwa gempa vulkanik tidak merekam gelombang S. Bagaimana gelombang tersebut terjadi?

1. Gelombang body
Gelombang body antara lain gelombang P (primer/pressure)
yang bersifat menekan, gerakan partikelnya sejajar dengan arah
perambatan gelombangnya. Oleh karena itu gelombang P memiliki kecepatan
yang lebih cepat dibanding S, dan dapat melewati media padat dan cair.
Gelombang body lainnya adalah gelombang S (sekunder/shear)
yang bersifat bergesekan, gerakan partikelnya tegak lurus dengan arah
perambatan gelombangnya. Gelombang S tidak dapat melewati media cairan.
Hal ini ditunjukkan oleh persamaan berikut :

Karena m (rigiditas) air = 0, maka Vs pada fluida akan = 0.
2. Gelombang permukaan




P.S : hiposenter adalah titik terjadinya gempa dibawah permukaan bumi, episenter adalah proyeksi dari titik hiposenter di permukaan bumi.
Selanjutnya, mari kita beralih ke relokasi hiposenter.
Titik lokasi gempa tersebut, belum dianggap sebagai solusi yang akurat. Hal ini bisa disebabkan karena penentuan waktu tiba P dan S yang mungkin salah, atau model kecepatan yang digunakan tidak sesuai (karena bumi bersifat heterogen, sehingga model kecepatan akan berbeda di setiap tempat).
Oleh karena itu, salah satu solusi memperbaiki atau merelokasi hiposenter tersebut adalah dengan metode Double Difference. Dengan catatan, relokasi adalah perbaikan lokasi, sehingga dalam perhitungannya, kita membutuhkan data hiposenter yang sebelumnya sudah ditentukan lokasinya.
Metode ini diambil dari paper Waldhauser,
F. and Ellsworth, W.L. 2000.
A double-difference Earthquake
Location
Algorithm:
Method and Application
to the Northern Hayward Fault,
California, Bull. Seismol. Soc. Am. 90, 1353–1368.
Metode
Double
Difference
merupakan
suatu metode penentuan posisi relatif
suatu hiposenter.
Metode ini menggunakan data waktu
tempuh
antar dua gempa.
Prinsip metode ini adalah jika jarak persebaran hiposenter
antara dua gempa sangat kecil dibanding jarak antara stasiun –
gempa,
maka raypath
dan
waveform
kedua
gempa dapat dianggap mendekati sama. Dengan asumsi ini, maka selisih
waktu tempuh antara kedua gempa yang terekam pada satu stasiun yang
sama dapat dianggap hanya sebagai fungsi jarak antara kedua
hiposenter. Sehingga kesalahan model kecepatan bisa diminimalisasi
tanpa menggunakan koreksi stasiun.
Ilustrasi
dari algoritma metode Double
Difference.
Gempa
i dan gempa j direlokasi bersama terhadap stasiun k dan stasiun l.
(Waldhauser
and
Ellsworth,
2000)
i
dan j
= dua
buah hiposenter
yang saling
berdekatan
k
= suatu
stasiun yang sama yang merekam kedua kejadian gempa
tki
= waktu tempuh gempa i yang direkam oleh stasiun k
drkij
= residual waktu tempuh antara pasangan gempa i dan j pada stasiun k
tobs
= waktu tempuh observasi (yang terekam oleh stasiun penerima)
tcal
= waktu tempuh kalkulasi (diperoleh dari perhitungan raytracing)
Keterangan
:
xo,
yo,
zo
= lokasi awal hiposenter (longitude,
latitude, kedalaman)
to
= waktu terjadinya gempa
Persamaan
yang digunakan dalam perhitungan Double
Difference
sendiri berdasarkan paper Waldhauser
&
Ellsworth
(2000) :
Keterangan
:
W
=
matriks
diagonal untuk pembobotan tiap persamaan
G
=
matriks turunan partial parameter
hiposenter
m
=
data vektor
perturbasi
parameter
tiap hiposenter
pada
satu cluster
[dx
dy dz dt]T
d
=
data residual
waktu tempuh untuk setiap pasangan gempa yang diterima stasiun [drk12
drk13
drk23
…. drkij]T
Contoh penggunaan metode ini adalah pada gempa Padang 30 September 2009.
Keunikan gempa ini adalah, gempa dengan magnitudo 7.6 pada kedalaman 81 km menurut catatan BMKG ini tidak berada persis di perbatasan lempeng Indo-Australia (Samudera Hindia) dan lempeng Eurasia (lempeng benua).
Lempeng samudera memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan lempeng benua. Sehingga apabila kedua lempeng bertemu, maka lempeng samudera akan menyusup kebawah lempeng benua, atau lebih dikenal dengan istilah subduksi. Ketika kedua lempeng bersatu, maka akan terjadi gesekan yang disebut dengan gempa. Berdasarkan sejarahnya, wilayah subduksi (megathrust) di sepanjang Sumatera hampir seluruhnya telah mengalami rupture atau robekan akibat gempa, yang bersifat seperti luasan/bidang. Namun masih ada bagian yang belum rupture di Sumatera, yaitu di wilayah barat Mentawai atau Sumatera Barat.
Sebelumnya kita mengira bahwa gempa 30 September 2009 yang menelan banyak korban ini adalah gempa subduksi. Karena jika gempa besar di zona subduksi telah terjadi, sekiranya recurrence atau perulangan kejadian gempa adalah sekitar 200-300 tahun setelah ini.
Namun jika kita lihat dari mekanisme fokusnya (beach ball yang menggambarkan mekanisme patahan), gempa ini memiliki mekanisme yang berbeda dari gempa2 lainnya di zona subduksi. Dilihat dari lokasinya juga, gempa ini merupakan gempa yang terjadi di intraplate atau di dalam lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia. Saya belum membaca lebih lanjut lagi apakah penyebab sebenarnya dari gempa ini, yang menurut saya, masih dipertanyakan.
Oleh karena itu, untuk meyakinkan lagi lokasi yang tepat untuk gempa ini, dan apakah gempa ini benar2 bukan gempa yang terjadi di zona subduksi, maka dilakukan relokasi hiposenter.

Disini digunakan model kecepatan global (ak135) untuk perhitungan relokasi hiposenter.
Hasil yang diperoleh adalah, terdapat lokasi gempa yang baru (relocated). Namun setelah direlokasi, lokasi gempa Padang 30 September 2009 juga terbukti berada pada intraplate lempeng Indo-Australia, dan bukan merupakan gempa subduksi.

No comments:
Post a Comment