Saturday, June 22, 2013

Relokasi Hiposenter Menggunakan Metode Double Difference

Kontributor : Iktri Madrinovella

Sebelum membahas tentang relokasi hiposenter, mari kita sejenak membahas dulu tentang proses gempa bumi. Gempabumi dapat terjadi secara vulkanik maupun tektonik. 
 
Gempa vulkanik adalah gempa yang terjadi di gunung api, fenomena gempa yang terjadi di dalam bumi secara vertikal. Sementara gempa tektonik terjadi di perbatasan lempeng atau sesar (patahan dua media di dalam lempeng). Gempa tektonik merupakan pergerakan vertikal di dalam bumi, serta pergerakan horizontal hingga permukaan.




Sehingga perbedaan gempa vulkanik dan tektonik dapat kita lihat dari rekaman gelombang yang dibaca oleh seismograf :
Dari gambar diatas, dilihat bahwa gempa vulkanik tidak merekam gelombang S. Bagaimana gelombang tersebut terjadi?
Gelombang seismik terdiri atas :
1. Gelombang body
    
Gelombang body antara lain gelombang P (primer/pressure) yang bersifat menekan, gerakan partikelnya sejajar dengan arah perambatan gelombangnya. Oleh karena itu gelombang P memiliki kecepatan yang lebih cepat dibanding S, dan dapat melewati media padat dan cair.
Gelombang body lainnya adalah gelombang S (sekunder/shear) yang bersifat bergesekan, gerakan partikelnya tegak lurus dengan arah perambatan gelombangnya. Gelombang S tidak dapat melewati media cairan.
Hal ini ditunjukkan oleh persamaan berikut :





Karena m (rigiditas) air = 0, maka Vs pada fluida akan = 0.

2. Gelombang permukaan 
Gelombang permukaan terdiri atas gelombang Rayleigh yaitu gelombang P dan S pada arah vertikal dan gelombang Love yaitu gelombang S arah horizontal. Sehingga gelombang Rayleigh memiliki amplitudo paling besar, serta paling merusak permukaan.


Jika terjadi gempa bumi, maka akan tercatat waktu tiba (arrival time) gelombang P dan S (dan lainnya) pada seismograf di setiap stasiun. Disitu kita akan mengetahui waktu kejadian gempa bumi dan  lokasinya. 

Metode paling sederhana adalah metode 3 lingkaran. Misalnya gempa terekam di 3 stasiun terdekat, lalu masing-masing stasiun akan memiliki ts-tp (waktu gelombang S dikurangi waktu gelompang P) tertentu. Maka ts-tp ini akan menjadi radius (Wadati). Pertemuan titik dari tiga lingkaran tersebut, itulah yang disebut dengan titik episenter.

Dengan mengetahui titik episenter dan titik stasiun, serta D dari persamaan diatas sebagai jarak hiposenter, maka kita akan mengetahui kedalaman gempa (fokus/hiposenter).

P.S : hiposenter adalah titik terjadinya gempa dibawah permukaan bumi, episenter adalah proyeksi dari titik hiposenter di permukaan bumi.

Selanjutnya, mari kita beralih ke relokasi hiposenter.

Titik lokasi gempa tersebut, belum dianggap sebagai solusi yang akurat.  Hal ini bisa disebabkan karena penentuan waktu tiba P dan S yang mungkin salah, atau model kecepatan yang digunakan tidak sesuai (karena bumi bersifat heterogen, sehingga model kecepatan akan berbeda di setiap tempat).

Oleh karena itu, salah satu solusi memperbaiki atau merelokasi hiposenter tersebut adalah dengan metode Double Difference. Dengan catatan, relokasi adalah perbaikan lokasi, sehingga dalam perhitungannya, kita membutuhkan data hiposenter yang sebelumnya sudah ditentukan lokasinya.

Metode ini diambil dari paper Waldhauser, F. and Ellsworth, W.L. 2000. A double-difference Earthquake Location Algorithm: Method and Application to the Northern Hayward Fault, California, Bull. Seismol. Soc. Am. 90, 1353–1368.


Metode Double Difference merupakan suatu metode penentuan posisi relatif suatu hiposenter. Metode ini menggunakan data waktu tempuh antar dua gempa. Prinsip metode ini adalah jika jarak persebaran hiposenter antara dua gempa sangat kecil dibanding jarak antara stasiun – gempa, maka raypath dan waveform kedua gempa dapat dianggap mendekati sama. Dengan asumsi ini, maka selisih waktu tempuh antara kedua gempa yang terekam pada satu stasiun yang sama dapat dianggap hanya sebagai fungsi jarak antara kedua hiposenter. Sehingga kesalahan model kecepatan bisa diminimalisasi tanpa menggunakan koreksi stasiun. 

  Ilustrasi dari algoritma metode Double Difference.
Gempa i dan gempa j direlokasi bersama terhadap stasiun k dan stasiun l.
(Waldhauser and Ellsworth, 2000)

Keterangan :
i dan j = dua buah hiposenter yang saling berdekatan
k = suatu stasiun yang sama yang merekam kedua kejadian gempa
tki = waktu tempuh gempa i yang direkam oleh stasiun k
drkij = residual waktu tempuh antara pasangan gempa i dan j pada stasiun k
tobs = waktu tempuh observasi (yang terekam oleh stasiun penerima)
tcal = waktu tempuh kalkulasi (diperoleh dari perhitungan raytracing)

 

Keterangan :
xo, yo, zo = lokasi awal hiposenter (longitude, latitude, kedalaman)
to = waktu terjadinya gempa

Persamaan yang digunakan dalam perhitungan Double Difference sendiri berdasarkan paper Waldhauser & Ellsworth (2000) :

WGm=Wd

Keterangan :
W = matriks diagonal untuk pembobotan tiap persamaan
G = matriks turunan partial parameter hiposenter
m = data vektor perturbasi parameter tiap hiposenter pada satu cluster
[dx dy dz dt]T
d = data residual waktu tempuh untuk setiap pasangan gempa yang diterima stasiun [drk12 drk13 drk23 …. drkij]T

Contoh penggunaan metode ini adalah pada gempa Padang 30 September 2009.
Keunikan gempa ini adalah, gempa dengan magnitudo 7.6 pada kedalaman 81 km menurut catatan BMKG ini tidak berada persis di perbatasan lempeng Indo-Australia (Samudera Hindia) dan lempeng Eurasia (lempeng benua).


Lempeng samudera memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan lempeng benua. Sehingga apabila kedua lempeng bertemu, maka lempeng samudera akan menyusup kebawah lempeng benua, atau lebih dikenal dengan istilah subduksi. Ketika kedua lempeng bersatu, maka akan terjadi gesekan yang disebut dengan gempa. Berdasarkan sejarahnya, wilayah subduksi (megathrust) di sepanjang Sumatera hampir seluruhnya telah mengalami rupture atau robekan akibat gempa, yang bersifat seperti luasan/bidang. Namun masih ada bagian yang belum rupture di Sumatera, yaitu di wilayah barat Mentawai atau Sumatera Barat. 
Sebelumnya kita mengira bahwa gempa 30 September 2009 yang menelan banyak korban ini adalah gempa subduksi. Karena jika gempa besar di zona subduksi telah terjadi, sekiranya recurrence atau perulangan kejadian gempa adalah sekitar 200-300 tahun setelah ini. 
Namun jika kita lihat dari mekanisme fokusnya (beach ball yang menggambarkan mekanisme patahan), gempa ini memiliki mekanisme yang berbeda dari gempa2 lainnya di zona subduksi. Dilihat dari lokasinya juga, gempa ini merupakan gempa yang terjadi di intraplate atau di dalam lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia. Saya belum membaca lebih lanjut lagi apakah penyebab sebenarnya dari gempa ini, yang menurut saya, masih dipertanyakan.

 Oleh karena itu, untuk meyakinkan lagi lokasi yang tepat untuk gempa ini, dan apakah gempa ini benar2 bukan gempa yang terjadi di zona subduksi, maka dilakukan relokasi hiposenter.


Disini digunakan model kecepatan global (ak135) untuk perhitungan relokasi hiposenter.

Hasil yang diperoleh adalah, terdapat lokasi gempa yang baru (relocated). Namun setelah direlokasi, lokasi gempa Padang 30 September 2009 juga terbukti berada pada intraplate lempeng Indo-Australia, dan bukan merupakan gempa subduksi.

Karena solusi mekanisme fokus adalah double solution, maka ditampilkan persebaran slip dan displacement atau pergerakan horizontal akibat gempa dengan membandingkan solusi pertama (sesar naik mengiri arah hampir utara-selatan) di gambar kiri, dengan solusi kedua (sesar naik menganan arah hampir barat-timur) di gambar kanan. Dimana kedua solusi ini pun tidak sejajar dengan gempa subduksi lainnya yang merupakan sesar naik berarah barat laut-tenggara.

No comments: